Monday, June 17, 2019

[Artikel] Meletusnya Gunung Vesuvius: Sebuah Azab dari Tuhan?

Pagi hari tanggal 24 Agustus tahun 79 M, jalanan di Kota Pompeii dipenuhi dengan berbagai atraksi menarik: pemusik jalanan, peramal, permainan, dan perlombaan. Festival yang berlangung berhari-hari untuk merayakan pengangkatan sang kaisar Augustus yang telah meninggal 65 tahun sebelumnya yang kini telah menjadi seorang dewa, dan menamakan bulan Agustus dari namanya. Banyak atlet, penari, pemain teater, dan seniman lainnya yang datang dari luar Pompeii, ditambah para turis dan mereka yang datang dari tempat lainnya untuk sekadar menikmati festival besar-besaran ini. Tidak bisa diperkirakan berapa banyak orang yang ada di kota saat itu.
Sehingga, letusan Gunung Vesuvius yang terjadi siang harinya memakan korban tidak hanya dari Pompeii dan kota sekitarnya, namun juga para pendatang.
Meskipun letusan ini disebut-sebut "mendadak" dan "tanpa peringatan", namun sebetulnya peringatan telah muncul bahkan sejak 62 M, ketika sebuah gempa besar yang sebetulnya terjadi karena Vesuvius. Bahkan, kerusakan yang terjadi saat itu masih diperbaiki ketika letusan terjadi. Seakan untuk menambah ironi dalam bencana ini, sehari sebelumnya telah digelar festival Vulcanalia untuk menyembah dan merayakan keagungan sang dewa Vulcan---dewa dari api dan gunung berapi. Bukannya penduduk Pompeii tidak mendapatkan peringatan sama sekali, karena pastinya telah ada asap, gempa kecil, dan suara-suara longsoran batu, setidaknya. Namun, karena Vulcanalia, mereka mungkin justru menganggap bahwa ini adalah tanda baik dari sang dewa, bukannya peringatan untuk menjauh dari gunung itu sendiri. Sejauh yang dibayangkan para penduduk, hal-hal tersebut hanyalah tanda bahwa sang dewa sedang sibuk di dalam Gunung Vesuvius, senang karena semua orang sedang merayakan hari spesialnya. 
Letusan Vesuvius terjadi selama lebih dari 24 jam. Letusan gunung berjenis stratovolcano ini dimulai pada pagi hari tanggal 24 Agustus, ketika batu cair dan batu apung mulai dimuntahkan dari Mt. Vesuvius dengan kecepatan 1,5 juta ton per detik. Sejumlah besar batu dan abu vulkanik memenuhi atmosfer, mengubah hari menjadi malam. Diperkirakan sekitar enam inci abu jatuh setiap jam. Sekitar tengah malam gelombang dan aliran piroklastik dimulai, dan pada pagi hari tanggal 25, awan beracun gas turun di Pompeii.  Berbagai bukti menunjukkan bahwa di letusan awal yang terjadi pada tanggal 24 Agustus, sekitar 2000 orang masih selamat. Namun letusan yang lebih dahsyat pada keesokan paginya (25 Agustus) telah menghabisi nyawa yang tersisa. Para sejarawan percaya bahwa Pompeii terkubur oleh abu dan batu apung sedalam 14 hingga 17 kaki. Pada 1748 ketika para penjelajah memeriksa situs tersebut, mereka menemukan bahwa abu vulkanik telah bertindak sebagai pengawet. Bangunan, kerangka manusia, dan sisa-sisa kehidupan kota pun masih utuh. Biasanya, setelah bencana alam, kota dibangun kembali, tetapi tidak kali ini. Rupanya kerusakan itu begitu luas dan efek dari tragedi itu begitu besar sehingga tidak ada upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kota Pompeii kembali. Namun, para penjarah kembali ke Pompeii dengan menggali terowongan melalui abu dan puing-puing lalu mengambil banyak kekayaan kota. 
Sayangnya, Pompeii memiliki citra negatif dalam sejarah manusia. Seperti cara berpikir orang yang selalu mengatakan bahwa bencana adalah azab dari Tuhan atas perilaku manusia yang tamak dan penuh dosa, Pompeii pun memiliki reputasi yang sama. Kota ini punya sebutannya sendiri: kota yang dikutuk karena perzinaan. 
Barang-barang temuan di reruntuhan Pompeii menunjukkan bagaimana seks menjadi napas kota itu. Beberapa artefak hasil galian sejak abad ke-18 menunjukkan karya seni Pompeii kebanyakan mengindikasikan nafsu birahi. Phallus atau penis ereksi mewujud dalam ragam karya seni, mulai pahatan dinding hingga patung. Bahkan, phallus jadi simbol keberuntungan masyarakat Pompeii. Film dokumenter Sex in the Ancient World: Prostitution in Pompeii garapan Kurt Sayenga pun menunjukkan banyak pahatan phallus di reruntuhan bangunan Pompeii. Belum lagi lukisan sejoli bercinta terpajang vulgar di sana sini. Bahkan, lebih liar lagi, terdapat patung dewa bersenggama dengan kambing.
Arkeolog University of Cambridge, Professor Andrew Wallace-Hadrill, menyebutkan bahwa artefak dan bangunan di Pompeii mengindikasikan prinsip masyarakat yang begitu menggandrungi seks. Wallace-Hadrill juga mengatakan, komodifikasi seks adalah sesuatu yang lazim dan menjadi ciri khas Pompeii di antara kota Romawi lain. Hal tersebut misalnya terlihat pada beberapa bangunan yang memiliki ukuran besar dan berisi kamar-kamar kecil dengan jumlah banyak. Kamar-kamar itu disebut cellae meretriciae, dan rumah tersebut secara gamblang disebut rumah bordil. Dalam catatan arkeolog Profesor Thomas McGinn, prostitusi di Pompeii benar-benar terstruktur rapi. Pompeii memiliki setidaknya 41 rumah bordil komersial yang tersebar di seantero kota. Masing-masing memiliki fasilitas andalan dengan variasi layanan seks, mulai teater bugil, mandi kucing, hingga layanan dansa. Amfiteater Pompeii yang megah tak jarang pula menawarkan atraksi tari telanjang.
Kenapa industri seks bisa laju di Pompeii? Salah satunya, karena 80 persen penduduk Pompeii berasal dari kalangan menengah ke bawah yang mudah tergiur pada gelimang uang. Pun, para tuan pemilik rumah bordil mendapat dukungan dari seluruh masyarakat. Prostitusi Pompeii tersohor ke seluruh wilayah Roma. Selain memiliki banyak tempat lokalisasi, jasa seks di Pompeii terbilang murah dibanding di wilayah lain Romawi. Jika di kota lain seperti Roma jasa seks bisa mencapai 6 hingga 8 asses (mata uang Romawi), di Pompeii cukup 2 asses. 
"Seks adalah mata uang di Romawi kuno," tulis McGinn.
Simak simulasi keadaan Pompeii ketika letusan Gunung Vesuvius terjadi di video di bawah ini.
Sumber: 1234

[Jurnal] STUDI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL TWITTER BERKAITAN DENGAN CARA BELAJAR PESERTA SBMPTN

STUDI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL TWITTER BERKAITAN DENGAN CARA BELAJAR PESERTA SBMPTN

Raden Ayu Vissy Mega Ryadi
111811133081

| Abstrak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dan pengaruh Twitter sebagai salah satu pelatar media sosial yang menyediakan tempat untuk bertukar informasi, yang secara tidak langsung memengaruhi cara belajar, khususnya bagi para peserta ujian SBMPTN. Penelitian merupakan penelitian kuantitatif, dan dilakukan di media sosial sejak tanggal 14 Mei 2019 hingga 16 Mei 2019. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta ujian SBMPTN dengan menggunakan metode pengambilan sampel purposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara khusus dengan mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu: merupakan pengguna Twitter dan merupakan peserta ujian atau calon peserta ujian SBMPTN pada tahun 2018-2020. Metode yang digunakan adalah kuesioner dan observasi. Penulis akan mengobservasi kegiatan di media sosial Twitter berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dicantumkan di kuesioner dan fenomena ini secara umum. Data yang dihasilkan dari kuesioner akan disajikan dalam bentuk angka yang kemudian akan dianalisis. Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar peserta ujian yang memakai Twitter pernah melihat utas berisi materi pembelajaran dan tips/trik untuk belajar, dan cukup banyak yang menggunakan atau mengimplementasikan isinya. Kemudian, cukup banyak di antara mereka yang mengikuti akun yang bertema edukasional, seperti autobase, figur publik, atau komunitas. Sebagian besar lebih sering berinteraksi dengan sesama peserta ujian. Berkaitan dengan teori Bandura, ketika mereka melihat cara belajar orang lain, mereka dapat meniru cara belajar tersebut. Ketika cara belajar orang lain itu menuai hasil yang baik bagi orang tersebut, mereka akan menirunya dengan mengharapkan hasil yang baik pula.

Kata kunci: media sosial, Twitter, cara belajar, peserta SBMPTN.

| Pendahuluan.

Tak dapat dipungkiri, zaman terus berubah. Teknologi yang dulunya tak ada, kini telah ditemukan dan bahkan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut tak hanya terbatas pada teknologi yang sekarang makin mempermudah pekerjaan manusia, melainkan juga sifat manusia saat ini, dan cara pandang serta gaya hidup manusia. Perkembangan teknologi memungkinkan kemudahan akses ke manapun, tak terkecuali untuk mengenyam pendidikan. Hampir seluruh jenjang sekolah telah menggunakan teknologi dalam aplikasi pembelajarannya.
Setelah lulus dari sekolah, dan demi melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, siswa SMA harus menjalani berbagai rangkaian ujian dan tes. Salah satu ujian tersebut adalah SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). SBMPTN merupakan seleksi yang dilakukan oleh PTN di lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) dan Kementerian Agama secara bersama di bawah koordinasi LTMPT dengan seleksi berdasarkan hasil UTBK saja atau hasil UTBK dan kriteria lain yang ditetapkan bersama oleh PTN UTBK adalah Ujian Tulis Berbasis Komputer. Sejak 2016, Kemristekdikti telah memperkenalkan UTBK sebagai salah satu cara menempuh ujian SBMPTN. Sejak tahun 2019, pengaplikasian SBMPTN dengan UTBK sudah semakin luas, bahkan seluruh peserta saat ini menempuh UTBK. Ujian ini dapat diikuti oleh siswa lulusan tahun 2017, 2018, dan 2019 dari pendidikan menengah (SMA/MA/SMK) dan sederajat, serta lulusan Paket C tahun 2017, 2018, dan 2019. (LTMPT, 2019). Dapat dilihat bahwa ujian masuk perguruan tinggi pun kini telah beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat.
Perkembangan teknologi juga berdampak pada media sosial. Menurut Hootsuite yang mengunggah laporan pengguna internet dan media sosial di seluruh dunia Januari 2019 silam, pengguna media sosial aktif di Indonesia adalah sebesar 150 juta orang. Jumlah tersebut meningkat sebesar 15% dari tahun sebelumnya, atau sekitar 20 juta orang. Pelantar media sosial yang paling aktif di Indonesia adalah YouTube dengan persentase 88%, disusul dengan WhatsApp (83%), Facebook (81%), Instagram (80%), LINE (59%), kemudian Twitter di peringkat ke-6 (52%) (Riyanto, 2019).
Sebagai salah satu media sosial yang banyak digunakan di Indonesia, Twitter telah memiliki jutaan pengguna yang berasal dari negara kita. Tidak hanya masyarakat, tapi juga artis, figur publik, politisi—bahkan presiden saat ini, Joko Widodo, juga menggunakan Twitter. Alasannya banyak sekali. Salah satu yang paling utama, Twitter adalah media sosial yang sangat praktis dan mudah digunakan. Setiap tweet—teks yang diunggah ke Twitter oleh penggunanya—dibatasi dengan jumlah kurang lebih 280 huruf. Semua orang bisa me-retweet, atau mengunggah kembali setiap tweet jika setuju dengan isi unggahan tersebut, atau quote tweet jika ingin mengomentari suatu tweet. Fitur like digunakan secara berbeda oleh setiap penggunanya. Ada yang menggunakan fitur ini untuk tweet yang disukai, tweet yang penting, atau sekadar menyetujui isi tweet tersebut. Profil Twitter juga sangat praktis, hanya terdiri atas foto profil, nama, nama pengguna, bio­—deskripsi singkat mengenai pengguna, lokasi, alamat web, dan ulang tahun. Benar, Twitter menggunakan nama pengguna yang dapat diubah oleh penggunanya sesuka hati, asalkan nama tersebut tidak pernah digunakan oleh orang lain. Karena itu, biasanya nama pengguna Twitter kebanyakan unik dan kreatif. Karena tampilannya yang praktis, Twitter juga cukup menghemat pengeluaran pulsa internet. Pendistribusian informasi melalui tweet secara umum sangat mudah. Jika ada satu orang yang me-retweet atau me-like sebuah tweet, tweet tersebut akan muncul di linimasa pengikut orang tersebut. Komunitas-komunitas di Twitter juga tak kalah. Sangat mudah untuk bertemu dengan orang lain di Twitter dan berbincang, karena media sosial ini sangat luas. Bertemu dan berbincang dengan orang asing pun mudah. Pengguna Twitter datang dari seluruh penjuru dunia. Lewat satu tweet, seseorang dapat berinteraksi dengan ribuan orang. Lantas, bagaimana peserta ujian memanfaatkan Twitter untuk membantu proses pembelajaran? Berapa banyak pengguna Twitter yang merupakan peserta ujian yang menggunakan media sosial ini sebagai alat bantu pembelajaran?
Ada banyak akun Twitter yang bertujuan untuk mengedukasi, entah itu figur publik seperti Ivan Lanin, atau akun yang digunakan seperti basis komunitas khusus para pelajar dan autobase (akun yang dapat digunakan bersama dengan cara mengirimkan apapun yang ingin dikirimkan melalui DM [direct message, pesan pribadi] ke akun tersebut. Kemudian, akun itu akan mem-posting­ DM secara otomatis) seperti Educationfess. Lewat akun-akun seperti ini, pelajar dapat memiliki akses pada pendidikan tambahan, dan sesama pelajar lain untuk sekadar saling bertukar pikiran dan saling mengajari. Tak jarang ada yang membagi ilmu dan cara belajarnya masing-masing, baik itu melalui interaksi langsung maupun dengan mengunggah utas (thread, atau kumpulan beberapa tweet yang disambung untuk membentuk semacam artikel). Kegiatan jual-beli juga lazim ditemukan, seperti jual-beli buku, bahkan akun pelantar edukasi seperti Zenius dan Quipper.
Penulis tertarik untuk meneliti fenomena ini, dengan dugaan awal bahwa peserta ujian menggunakan Twitter untuk berinteraksi dengan sesama pengguna lainnya, terutama peserta ujian, untuk bertukar informasi. Dalam penelitian ini, penulis mengaitkan fenomena ini dengan teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning, sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modelling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. (Bandura, 1977). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dan pengaruh Twitter sebagai salah satu pelatar media sosial yang menyediakan tempat untuk bertukar informasi, yang secara tidak langsung memengaruhi cara belajar, khususnya bagi para peserta ujian SBMPTN.

| Metode

Penelitian merupakan penelitian kuantitatif, dan dilakukan di media sosial sejak tanggal 14 Mei 2019 hingga 16 Mei 2019. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta ujian SBMPTN dengan menggunakan metode pengambilan sampel purposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara khusus dengan mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu: merupakan pengguna Twitter dan merupakan peserta ujian atau calon peserta ujian SBMPTN pada tahun 2018-2020. Metode yang digunakan adalah kuesioner dan observasi. Penulis akan mengobservasi kegiatan di media sosial Twitter berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dicantumkan di kuesioner dan fenomena ini secara umum. Data yang dihasilkan dari kuesioner akan disajikan dalam bentuk angka yang kemudian akan dianalisis.

| Hasil dan Pembahasan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menerima 90 orang responden yang telah mengisi kuesioner. Pertanyaan pertama adalah “Pernahkah Anda menemukan utas (thread) yang berkaitan dengan materi sekolah atau materi ujian?” 86,7% (78 orang) responden menjawab ‘Ya’, dan 13,3% (12 orang) responden menjawab tidak. Dapat dilihat bahwa utas berisi materi pembelajaran merupakan hal yang cukup sering dijumpai di Twitter. Utas berisi materi pembelajaran ini biasanya merupakan rangkuman materi atau contoh soal yang diperoleh dari berbagai sumber, kemudian dibagikan kembali melalui utas oleh beberapa pengguna. Pertanyaan kedua adalah “Jika ya, apakah Anda pernah menggunakan/mengimplementasikan isi utas tersebut?” 67,8% responden (61 orang) menjawab ‘Ya’, 18,9% (17 orang) responden menjawab ‘Tidak’, dan 13,3% (12 orang) responden menjawab ‘Saya tidak pernah menemukan utas yang berkaitan dengan materi sekolah atau materi ujian.’ Dari 78 orang responden yang melihat utas berkaitan dengan materi pembelajaran, 61 orang di antaranya menggunakan isi utas tersebut.
Hasil kedua pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa utas berisi materi pembelajaran memang banyak muncul karena pembuatnya ingin membagikan materi yang mereka miliki. Menurut hasil observasi penulis, biasanya calon pembuat utas akan menawarkan materi yang ia miliki di basis komunitas besar, seperti Educationfess. Bukan sembarang materi, biasanya berupa rangkuman materi yang telah dipercantik, atau kumpulan soal yang berasal dari sumber yang terkenal di kalangan murid, seperti Pak Anang. Pengguna lainnya biasanya membalas tweet calon pembuat utas dan menerima tawaran tersebut. Jika orang yang membalas tweet tersebut cukup banyak bagi si calon pembuat utas, maka ia akan membuat utas tersebut dan membagikan tautannya. Seperti yang telah tercermin dari jawaban para responden, utas yang berkaitan dengan materi pembelajaran seperti ini memang sangat berguna dan sering digunakan oleh pembacanya. Semua itu karena biasanya, para peserta ujian haus akan materi tambahan untuk membantu meningkatkan pembelajarannya. Kemudian, jika materi yang ditemukan dalam utas merupakan rangkuman materi yang telah dipercantik dan dihias sehingga membuat pembacanya tertarik untuk membaca dan belajar menggunakan materi tersebut, pembacanya bisa meniru contoh tersebut dan melakukannya sendiri. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial yang dicetuskan oleh Bandura.
Pertanyaan selanjutnya adalah “Pernahkah Anda menemukan utas yang berkaitan dengan tips/trik untuk belajar, khususnya untuk ujian?” 87,8% (79 orang) responden menjawab ‘Ya’, dan 12,2% (11 orang) responden menjawab ‘Tidak’. Tak hanya utas mengenai materi pembelajaran, tips/trik belajar juga sangat berguna, khususnya untuk peserta ujian. Di pertanyaan selanjutnya, “Jika ya, apakah Anda pernah menggunakan/mengimplementasikan isi utas tersebut?” 60% (54 orang) responden menjawab ‘Ya’, 28,9% (26 orang) responden menjawab tidak, dan 11,1% (10 orang) responden menjawab ‘Saya tidak pernah menemukan utas yang berkaitan dengan tips/trik untuk belajar, khususnya untuk ujian.’ Dapat dilihat bahwa 54 dari 79 orang responden yang menemukan utas berisi tips/trik belajar yang pernah mengimplementasikan isi utas tersebut.
Tips/trik belajar sangat berguna bagi peserta ujian yang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Dari observasi penulis, biasanya seseorang akan membuat tweet pancingan dengan mengunggah hasil pembelajarannya, misalnya nilai yang telah didapat setelah mengaplikasikan tips/trik belajar tertentu, kemudian melihat apakah banyak yang berminat untuk mengetahui tips/trik belajar yang ia aplikasikan. Setelah itu sang pembuat utas akan membagikan utas berisi tips/trik belajar tersebut. Jika dikaji menggunakan teori belajar sosial Bandura, orang-orang yang tertarik dengan tips/trik terlebih dahulu telah melihat hasil yang didapatkan oleh pembuat utas, kemudian berharap mendapatkan hasil yang setara. Oleh karena itu, mereka mengikuti tips/trik tersebut.
Pada pertanyaan “Apakah Anda salah satu pengikut akun yang bertema pendidikan? (Misalnya autobase, figur publik, atau komunitas.)” 81,1% (73 orang) responden menjawab ‘Ya’, dan 18,9% (17 orang) responden menjawab ‘Tidak’. Masih berhubungan dengan itu, pertanyaan selanjutnya—“Jika ya, seberapa sering Anda menggunakan jasa dan berinteraksi dengan akun-akun tersebut?”—meminta jawaban berupa skala dari 1-5. 16,7% (15 orang) responden memilih skala 1, 18,9% (17 orang) responden memilih skala 2, 21,1% (19 orang) responden memilih skala 3, 34,4% (31 orang) responden memilih skala 4, dan 8,9% (8 orang) responden memilih skala 5. Skala ini menunjukkan seberapa sering para responden berinteraksi dan menggunakan akun yang mengedukasi.
Rata-rata dari skala ini adalah 3,34, yang merupakan angka yang hampir berada di tengah-tengah. Ini berarti jumlah responden yang sering menggunakan akun-akun tadi hampir setara dengan yang tidak menggunakannya. Akun-akun ini tidak hanya berguna sebagai perantara dan titik temu bagi pengikutnya, namun juga sebagai penyedia informasi. Dari hasil observasi penulis, kebanyakan orang yang berinteraksi dengan akun-akun tersebut melakukan interaksi pasif, seperti sekadar me-retweet atau me-like tweet dari akun-akun yang bersangkutan, namun tidak benar-benar berinteraksi.
Pertanyaan selanjutnya yaitu “Pernahkah Anda berinteraksi dengan orang lain yang sama-sama sedang mempersiapkan diri untuk ujian lewat Twitter?” mendapatkan jawaban ‘Ya’ dari 52,2% (47 orang) responden, ‘Tidak’ dari 31,1% (28 orang) responden, dan ‘Mungkin’ dari 16,7% (15 orang) responden. Pertanyaan “Jika ya, interaksi macam apa yang pernah Anda lakukan?” menunjukkan tipe-tipe interaksi yang mungkin dilakukan oleh sesame peserta ujian, seperti ‘Membahas materi atau saling membantu menyelesaikan persoalan tertentu’ yang dilakukan oleh 15,6% (14 orang) responden, ‘Saling bertukar informasi umum mengenai ujian’ yang dilakukan oleh 43,3% (39 orang) responden, ‘Saling bertukar tips dan trik menghadapi ujian’ yang dilakukan oleh 7,8% (7 orang) responden, dan ‘Saya tidak pernah berinteraksi dengan orang lain yang sama-sama sedang mempersiapkan diri untuk ujian’ yang dipilih oleh 31,1% (28 orang) responden. Selain itu, 2,2% (2 orang) responden memilih pilihan ‘Lainnya’, di mana salah satunya menjawab bahwa ia berinteraksi dalam sebuah kelompok belajar di Twitter, dan satu lagi menjawab bahwa ia berinteraksi untuk saling menyemangati.
Bagi para peserta ujian yang saling berinteraksi, berbagi materi, saling membahas dan membantu menyelesaikan persoalan, baik itu dalam interaksi dua orang atau dalam kelompok, dapat menguntungkan semua pihak karena semuanya sama-sama belajar. Kembali ke teori belajar sosial, di mana mereka dapat saling belajar dari satu sama lain dengan mengikuti cara belajar masing-masing. Begitu juga dengan saling berbagi tips dan trik dan saling menyemangati. Sementara itu, dari observasi penulis, informasi mengenai SBMPTN juga menjadi alasan mereka berinteraksi ketika mereka tidak memahami atau gagal dalam pendaftaran atau sistem lainnya, dan tidak bisa bertanya ke Kemristekdikti secara langsung. Oleh karena itu, mereka mencari informasi melalui sesama peserta ujian.

| Kesimpulan.

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar peserta ujian yang memakai Twitter pernah melihat utas berisi materi pembelajaran dan tips/trik untuk belajar, dan cukup banyak yang menggunakan atau mengimplementasikan isinya. Kemudian, cukup banyak di antara mereka yang mengikuti akun yang bertema edukasional, seperti autobase, figur publik, atau komunitas. Sebagian besar lebih sering berinteraksi dengan sesama peserta ujian. Berkaitan dengan teori Bandura, ketika mereka melihat cara belajar orang lain, mereka dapat meniru cara belajar tersebut. Ketika cara belajar orang lain itu menuai hasil yang baik bagi orang tersebut, mereka akan menirunya dengan mengharapkan hasil yang baik pula.

| Daftar Pustaka.

Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. International Encyclopedia of Psychiatry, Psychology, Psychoanalysis, and Neurology, Vol. 10, pp. 1–46.
LTMPT. (2019). Website Resmi SBMPTN 2019. Retrieved May 15, 2019, from kominfo.go.id website: https://sbmptn.ltmpt.ac.id/?mid=13

Riyanto, A. (2019). Hootsuite (We Are Social) Indonesia 2019. Retrieved May 15, 2019, from andi.link website: https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2019/